1. Tgk. H Nuruzzahri Yahya
Tgk. H Nuruzzahri Yahya, akrab disapa Waled Nu, lahir di
desa Mideun Jok, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen pada 1951. Dia anak
sulung Tgk.H Yahya dari istri pertamanya, Sa'diah. Dari ibu Sa'diah yang
meninggal dunia pada 1959 Waled Nu memiliki dua orang saudara; Tgk.Fakhrurrazi
Yahya dan Syeh Asnawi Yahya (Alm). Dari ibu kedua, Hj Nurjannah, Waled memiliki
dua orang adik, yaitu Tgk. Syeh Baihaqi dan Hj. Marhamah (Walidah Tanoh Mirah,
istri Tgk.H.Anwar Nurdin). Ketika ia berumur delapan tahun, ibu kandung
meninggal dan tinggallah Nuruzzahri kecil dengan adik-adiknya bersama ayah.
Ayah Tgk.H.Nuruzzahri, Tgk. H.Yahya, adalah seorang
tokoh masyarat, tokoh agama, juga seorang guru besar yang merangkap panitia
pembangunan dayah Ma'hadal Ulum Diniyyah Islamiyah Mesjid Raya, (MUDI MESRA),
di era kepemimpinan Tgk.H. Abdul Aziz (Abo Aziz Samalanga). Selain sebagai
tokoh agama, beliau juga seorang pembisnis hasil bumi yang tergolong sukses.
Tgk.H.Yahya berasal dari desa Monkeulayu, Kecamatan
Gandapura, Kabupaten Bireuen. Pada 1937 ia berangkat ke Samalanga untuk
menyantri ( meudagang ) di Dayah MUDI MESRA yang dipimpin oleh Tgk. Abi
(Tgk.H.Hanafiah). Setelah 14 tahun di sana ia menikah dengan Sa'diah, seorang
gadis desa Mideun Jok, desa tempat Dayah MUDI berada. Tgk.H.Yahya adalah sosok
berdarah Arab Yaman Selatan. Dilihat dari postur tubuh, ia mirip orang Timur
Tengah dan sering disapa dengan panggilan "Tgk.Arab". Begitu juga
dengan anak-anaknya seperti Waled Nu.
Dalam mendidik anak-anaknya, Tgk.H.Yahya sangat disiplin
dan memahami bakat dan kemampuan mereka. Anak-anak beliau diberi kebebasan
memilih jalan hidup asalkan mareka sudah matang menguasai ilmu agama dengan
cara belajar di dayah. Dia sangat menekankan pentingnya kewiraswastaan agar
terkikis mental-mental manja dari seorang anak. Apapun sikap dan tindakan yang
bermanfaat bagi mereka, akan diberi dukungan, baik dukungan moril maupun
materil. Sebagai contoh, ketika Waled Nu pada masa muda memilih turun ke sawah
untuk menjadi petani layaknya masyarakat lain sebagai sikap mandiri dalam soal
ekonomi, sang ayah memberi dukungan dan dorongan dan bahkan memodalinya.
Mungkin ada sebagian masyarakat yang memandang ironis karena Waled adalah anak
seorang pedagang sukses. Mereka heran mengapa ia memilih memanggul cangkul ke
sawah.
Pola pendidikan seperti itu telah mengantar anak-anak
Tgk.H.Yahya ke jenjang kesuksesan, seperti Tgk. H. Nuruzzahri yang kemudian
menjadi seorang tokoh ulama Aceh dan akhirnya disebut Waled Nu. Tgk.Fakhrurrazi
menjadi pedagang hasil bumi. Syekh Asnawi menjadi guru SMA di Sigli dan
meninggal sebagai korban DOM 1991. Syekh Baihaqi menjadi ketua umum Dayah
Malikussaleh Panton Labu. Putri bungsu beliau, Hj.Marhamah berkiprah sebagai
pimpinan pesantren putri Miftahul Ulum, Tanoh Mirah (Walidah Tanoh Mirah).
2. Syaikh Hasanoel Bashry. HG
ABU MUDI adalah seorang ulama dayah salafiyah Aceh yang bernama
lengkap Tgk. H. Hasanoel Bashry. Bin H. Gadeng. Popularisasi nama
julukan Abu Mudi ini menunjukkan kadar popularitas dan gambaran peran
sang tokoh agama di tengah masyarakatnya. Julukan Abu Mudi bagi Tgk. H.
Hasanoel Bashry. HG, itu diperoleh karena peran dan jasanya sebagai
pendidik, penegak dan pembangun lembaga pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum
Diniyah Islamiyah, juga sebagai penghargaan atas jasa dan perannya
sebagai pemimpin dan pemegang posisi sentral pada lembaga tersebut pasca
wafat bapak mertuanya, yaitu Tgk H. Abdul ‘Aziz atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Abon.
Syaikh Hasanoel Bashry. HG, lahir pada tanggal 26 Sya`ban 1368 H
bertepatan dengan tanggal 21 Juni 1949 M, di desa Uteun Geulinggang kec.
Krueng Geukueh. Beliau adalah yang tertua dari dua bersaudara, putera
pasangan Tgk. H. Gadeng dan Ummi Manawiyah yang berasal dari keluarga
berlatarbelakang agama yang kuat.
Disiplin yang ditanamkan oleh orangtuanya telah membentuk karakter Abu
MUDI menjadi sosok yang sangat menghargai waktu dan mencintai ilmu Allah
melebihi segalanya. Beliau tampil sebagai pribadi yang tekun belajar
dan tidak bosan melakukan kajian.
Tahap-tahap pembelajaran sistem klasikal dayah (pesantren) tradisional
yang berbentuk halaqah dilalui dengan penuh semangat sampai selesai pada
tahun 1972 (tujuh tahun).
Di sini beliau memperoleh bimbingan dari guru-guru beliauKecintaan
kepada ilmu agama membuat beliau betah untuk terus bergelut dengan
tradisi keilmuan dayah, segera setelah menamatkan jadwal pembelajaran
kurikulum wajib, beliau mendaftar di tahap pembelajaran lanjutan. Di
tahun yang sama beliau masuk di kelas Bustanul Muhaqqiqin sampai selesai
pada tahun 1975. Dalam pembelajaran di tingkat Bustanul Muhaqqiqin,
beliau mendapat gemblengan khusus dari Abon (Tgk. H. Abdul Aziz Shaleh
sebagai pimpinan pesantren).
Di masa ini pula beliau diserahi tugas-tugas administrasi kedayahan yang
dalam konteks sekarang diistilahkan sebagai “magang”. Dalam masa itu
beliau sempat mengemban tugas sebagai sekretaaris umum pesantren MUDI
(1972-19750). Sukses memenuhi tanggung jawab, lalu beliau diangkat
sebagai ketua umum pesantren MUDI pada tahun 1975, dan terus dijabatnya.
Pada 1978, dalam usia 29 tahun, beliau menikah dengan putri sulung Abon
Aziz, Shalihah.
Pengabdian tulus beliau dalam dunia kedayahan terus mendapat peningkatan
bobot tanggung jawab. Puncaknya adalah pada tahun 1988, saat Abon Aziz
meninggal dunia sehingga praktis tugas kepemimpinan pesantren harus
diisi olehnya. Dan akhirnya beliau ditetapkan pula menjadi pimpinan
pesantren MUDI Mesjid Raya sampai sekarang.
Kiprah Abu MUDI dalam Sosial Kemasyarakatan
Tanpa mengesampingkan perhatian Syaikh Hasanoel Bashry. HG, pada sektor
pengajaran, ternyata konsentrasi pada bidang organisasi kemasyarakatan
juga menjadi prioritas utama. Diantaranya, Ketua Tarbiyah Islamiyah Kec.
Samalanga, Penasehat Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Ketua Syuriyah
Nahdhatul Ulama (NU) Kab. Bireuen, dan wakil ketua Syuriyah Nahdhatul
Ulama (NU) wilayah Nanggroe Aceh Darussalam, Dewan Majelis Syuyukh
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Nanggro Aceh Darussalam
sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang, Wakil Ketua Majelis Pendidikan
Daerah Kabupaten Bireuen sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang, Ketua
Ikatan Persaudaraan Haji (IPHI) Samalanga, sejak tahun 2003 sampai
dengan sekarang.
Dalam sosial kemasyarakatan, Abu MUDI dalam berinteraksi dengan
masyarakat tidak hanya dilakukannya melalui halaqah ilmiah, tetapi
beliau juga mengoptimalkan seluruh media yang bisa dimanfaatkan untuk
berinteraksi dalam hal pengembangan pendidikan Islam. Hingga saat ini,
Abu MUDI melayani masyarakat dalam menjawab beragam kasus hukum melalui
Short-Message-Service (SMS), Blacberry Messangger (BBM), dan Fanspage
Facebook.
Kiprah Abu MUDI dalam Karya Tulis
Tidak hanya itu, Syaikh Hasanoel Bahsry. HG, juga konsen pada bidang
penulisan yang tersebar dalam beberapa disiplin ilmu dengan ciri khas
merata yaitu argumentatif. Beliau tertarik untuk terjun ke dunia
penulisan setelah membaca dan mengkaji secara serius sebuah buku yang
kontroversial yaitu buku ”Al-Manazil” buah pena Al-Anshari (w.
481/1089). Buku tersebut kemudian diberi komentar dan ditulis dengan
judul Manazil Al-Sa’irin.
Alasan kedua beliau tertarik untuk menulis, setelah melihat fenomena
kehidupan masyarakat muslim hari ini khususnya di Aceh, minim sekali
yang berminat untuk mempelajari hukum atau ilmu agama lainnya dengan
menggunakan kitab Arab klasik sebagai panduan. Mereka lebih senang
membaca buku- buku yang kadang- kadang sangat kontroversial dengan
ajaran agama yang sebenarnya.
Sejak saat itulah Syaikh Hasanoel Bashry. HG. mulai berkarya dan
menterjamahkan kitab- kitab Arab klasik ke dalam bahasa Indonesia yang
benar, dan mudah dipahami oleh pembaca. Dan karya lainnya dalam bentuk
makalah, seperti. Peran Ulama Dalam Perdamaian Aceh (Peran Ulama Dayah
Dalam Konteks Pendekatan Berbasis Agama Dan Pendidikan). Makalah yang
disampaikan pada Workshop Pondok Pesantren Dan Peace Building Bogor
23-25 Maret 2006.
Hasil karya lainnya dari Abu MUDI adalah Buku yang bertajuk Pemikiran
Ulama Dayah Aceh yang diterbitkan oleh BRR-NAD pada tahun 2006, Abu MUDI
juga menulis tentang Korupsi dalam Perspektif Islam, dan hingga saat
ini semua karya tulis beliau ada yang telah dibukukan dan ada pula masih
dalam bentuk paper ilmiah yang disampaikannya dalam setiap pertemuan
ilmiah dalam berbagai acara, seperti seminar, workshop hingga sidang
ifta MPU Aceh. Dan juga kadangkala tulisan Abu MUDI dipublikasikan di
berbagai media online seperti di website www.suaraaceh.com, www.lbm-mudi.com dan www.al-aziziyah.com
Disamping buku-buku hasil karya Syaikh Hasanoel Bashry. HG yang
menghiasi khazanah pustaka, beliau juga memiliki murid dan kader yang
handal. Di antara muridnya yang mampu mewarisi semangat keilmuan dan
bahkan di antara mereka ada yang berhasil mendirikan Lembaga Pendidikan
di daerahnya masing- masing sebagai wujud dari perpanjangantangan dalam
menyebarkan syari’at.
Kiprah Abu MUDI Dalam Pendidikan Islam di Aceh
Sebagai salah satu tokoh pendidik di Aceh, kesuksesan Dayah MUDI Mesjid
Raya Samalanga dan STAI Al-Aziziyah Samalanga menjadi bukti nyata
tentang kiprah yang diperankannya dalam pengembangan pendidikan di Aceh.
Dari gaya kepemimpinan beliau, Abu MUDI di Dayah MUDI Mesjid Raya telah
berkontribusi dalam pengembangan pendidikan agama Islam di Aceh seperti
upaya pencapaian tujuan, berfungsinya sistem di dayah tersebut, dan
tingkat kepuasan individu yang berpartisipasi, salah satu factor yang
melatarbelakangi kesuksesan Abu MUDI dalam menyukseskan pendidikan di
Dayah MUDI Mesjid Raya adalah factor kepemimpinannya, di mana hal ini
dapat dilihat dari segi perubahan yang terjadi pada pesantren dalam masa
kepemimpinan Abu.
Pada masa kepemimpinan Abu MUDI banyak sekali dilakukan
perubahan-perubahan. Pola pikir beliau yang dinamis membawa angin segar
perubahan yang meniscayakan pembenahan dan pembaharuan dalam beberapa
sisi kedayahan diantaranya pembinaan manajerial pengelolaan Dayah MUDI
Mesjid Raya, pengembangan pendidikan dan akses perhubungan masyarakat.
Dalam pengembangan pendidikan, kendatipun pesantren merupakan kenyataan
sosial yang sudah mapan dalam masyarakat Indonesia, namun tidak
memperoleh perhatian dan intervensi yang signifikan dari pemerintah
untuk mengembangkan ataupun memperdayakannya. Hal ini menjadikan
pesantren tumbuh dengan kemampuan sendiri yang pada akhirnya menumbuhkan
varian yang sangat besar, karena sangat tergantung pada kemampuan
masyarakat itu sendiri. Kadang kesan yang muncul adalah bahwa pesantren
adalah merupakan lembaga yang eklusif dan kurang mengakomodasi
perkembangan zaman.
Pesantren bukan berarti tidak mempunyai kelemahan dan kekurangan, untuk
itu perlu adanya perbaikan dengan cara melakukan rekontruksi terhadap
sistem pendidikan yang ada. Rekontruksi sitem pendidikan pesantren buka
berarti merombak seluruh sistem yang ada yang berakibat hilangnya jaiti
diri pesantren. Rekonstruksi sistem pendidikan tidak harus merubah
orientasi atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren sebagai
lembaga tafaqquh fiddiin dalam pengertian luas.
Menyadari hal tersebut Abu juga melakukan rekonstruksi di pesantren MUDI
Mesjid Raya di beberapa sektor, yaitu: Kurikulum, Pengenalan Komputer,
Mabna Lughah (lembaga bahasa Arab & Inggris), Pembukaan STAI
Al-Aziziyah, TK, SMP Islam Dayah Jamiah Al-Aziziyah, SMK Islam Jamiah Al
Aziziyah serta berbagai gebrakan perubahan yang dilakukannya untuk
mewujudkan pendidikan dayah memiliki daya saing dengan berbagai lembagai
pendidikan formal di Aceh maupun luar Aceh.
Hal lain yang dilakukan Abu MUDI dalam menjalankan pengembangan
pendidikan Agama Islam di Aceh adalah dengan membuka akses hubung
masyarakat, di antaranya dengan memdirikan lembaga Pengajian TASTAFI
(Tasawuf, Tauhid dan Fiqh) di mana Abu MUDI dengan lembaga tersebut
mengajarkan masyarakat luar dayah MUDI untuk pemahaman ilmu tauhid,
tasauf dan fiqh. Hingga saat ini pengajian TASTAFI sudah berjalan di
mesjid Al-Bakri Samalanga, Darul Jamil Beureunuen, Mesjid Lhoksukon,
Mesjid Agung Bireuen, Mesjid Kembang Tanjong, Mesjid Bujang Salem krueng
Gekueh, Rumkin dari Fauziah Bireuen, Yayasan Sirajul Mudhi Jakarta,
Mesjid Grong-Grong Pidie, Mesjid Taqarrub Darussalam Medan dan juga
mengisi kajian Islam di Kuala Lumpur dan Johor Baru Malaysia.
Termasuk juga dalam kiprah Abu MUDI dalam mengembangkan pendidikan Islam
di Aceh adalah melalui pembinaan rabithah alumni LPI MUDI Mesjid Raya
secara intens, Abu melakukan pembinaan alumni-alumninya sehingga
hubungan antara dayah Induk dengan Dayah Alumni-Alumninya terjalin
secara efektif baik daripada visi dan misinya. Lembaga MUDI hingga saat
ini telah banyak menghasilkan alumni yang sebahagian dari mereka ada
yang melanjutkan studinya baik dalam maupun luar negeri, dan ada pula
yang sudah bekerja di instansi pemerintahan, wiraswasta serta ada pula
yang berkarya mendirikan pesantren di daerah mereka masing-masing.
Dayah cabang binaan Alumni saat ini telah mencapai 423 pesantren dan
balai pengajian yang tersebar di daerah Aceh dan di luar Aceh. Dengan
demikian berarti pesantren tersebut telah menciptakan para lulusan yang
bermanfaat bagi pemerintah dan bagi masyarakat dalam membangun manusia
seutuhnya.
Selanjutnya, Abu MUDI juga telah merintis kerja sama antar negara, di
mana hingga sekarang ini Dayah MUDI telah menjalin kerjasama dengan
Universitas Sultan Sharif (Unissa) Brunei Darussalam, Mufti Penasehat
Kerajaan Brunei Darussalam dan Universitas Islam Antarbangsa Malaysia.
Penandatangan nota kerjasama dengan pihak Mufti Penasehat Kejaraan
Brunei Darussalam pada tanggal bertujuan untuk menerjemahkan manuskrip
600 kitab yang ditulis para ulama di Asia Tenggara, termasuk ulama Aceh
ke dalam bahasa Melayu dan MUDI menyediakan orang yang memiliki
kemampuan menerjemahkan manuskrip tersebut. Sedangkan dengan pihak
UNNISA, Abu menjalin kerjasama yaitu di bidang pertukaran pengajar,
mahasiswa, dan pengembangan paskasarjana,karena mengingat Mudi juga
memiliki STAI Al Aziziyah dan para mahasiswa dan pengajar STAI Al
Aziziyah bisa belajar di Unissa salah satu kampus negeri di Brunei.
Dengan demikian, perubahan-perubahan yang telah disebutkan di atas
menunjukkan bahwa Abu MUDI telah membawa perubahan besar dalam
lingkungan dayah khusunya dan dalam pengembangan pendidikan Islam di
Aceh pada umumnya. Saat kebanyakan dayah masih anti dengan istilah
manajemen modern, Abu MUDI justru telah menerapkannya di kampus MUDI
Mesjid Raya Samalanga. Dan demi tercapainya visi lahirnya ulama yang
berwawasan luas Abu MUDI menerapkan pendidikan umum di kampus MUDI
Mesjid Raya, demi berjalannya proses pendidikan Islam, Abu tidak hanya
bekerjasama dalam tingkat nasional, bahkan Abu MUDI menjalin kerja sama
tingkat Internasional.
3. Abu Tumin
Abu H.Muhammad Amin Blang Bladeh yang akrab dengan panggilan Tumin.
beliau salah satu murid Abuya Syeikh Muda Waly Al Khalidy (ulama paling
berpengaruh dalam melahirkan Ulama di Aceh) dan beliau satu-satunya
murid Abuya Syeikh Muda Waly yang masih tersisa di Aceh dan beliau
tercatat sebagai Ulama Aceh yang paling senior dan paling tua yang masih
tersisa berusia lebih kurang sekitar 85 tahun. Beliau juga merupakan
murid Abu Hasan Krueng Kale (Syaikh Muhammad Hasan al-Aasyie al-Falaki)
yang ikut aktif berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sehubungan dengan sapaan ini (Tumin) beliau sendiri benar berkelakar,
kira-kira begini ucapan beliau, “Ka dumno tuha, hana dihei Tgk (saya
sudah tua begini gak dipanggil Tgk)..”. Spontan saja kami yang berada
dihadapan beliau tak sanggup menahan tawa yang membuat riuh ruang rumah
Beliau.
Dalam berbicara beliau memiliki ciri khas, gaya bicaranya
halus tidak blak-blakan dan bijaksana. Walaupun usia sudah sangat tua,
tapi waktu beliau berdiri dan berjalan tubuh beliau masih tegak tidak
membungkuk, dan tidak perlu memakai tongkat dan semangatnya seakan masih
muda.
Beliau merupakan pemimpinnya Ulama Aceh dan ini terbukti
ketika ada forum-forum pertemuan Ulama beliau begitu sangat menonjol dan
beliau merupakan ulama yang ahli dibidang ilmu Fiqh, khususnya madzhab
Syafi’i. Dalam banyak masalah beliau sangat gigih mempertahankan
pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i ketika terjadi kontroversi
antar sesama Ulama Aceh .
Selain ahli dibidang fiqh, beliau juga
seorang yang sangat mahir dibidang tauhid, sangat menguasai kitab
Syarah Al-Hikam karangan Syaikh ‘Ataillah As-Sakandari, mudah dicerna
ketika beliau menerangkan tentang kalam-kalam hikmah yang terkandung
dalam kitab tersebut. Beliau juga seorang Ulama ahli Thariqat
Al-Haddadiyah.
Beliau merupakan pimpinan dayah (pesantren) Al
Madiinatuddiniyah Babussalam, Blangbladeh, Kec.Jeumpa, Kab.Bireuen yang
merupakan induk dari beberapa dayah salafiah di Aceh yang sudah mendidik
santri sejak zaman Belanda. Awalnya, dayah tersebut didirikan Tgk H
Imam Hanafiah pada tahun 1890. Setelah Tgk Imam Hanafiah meninggal,
estafet kepemimpinan dayah itu dilanjutkan anaknya Tgk Mahmudsyah.
Sejak Tgk Mahmudyah meninggal hingga sekarang dayah itu dipimpin
anaknya yaitu Tgk Muhammad Amin atau yang lebih dikenal dengan Abu
Tumin. Abu Tumin adalah cucu Tgk Imam Hanafiah. “Dayah ini adalah dayah
salafiah yang terus berupaya melahirkan kader-kader ulama dan berjuang
keras agar syariat Islam tidak hanya sebatas wacana,” ujar Abu Tumin
menjawab wartawanSerambi Indonesia.
Dayah yang berciri khas
pengajian ilmu fiqih, tauhid, dan tafsir dalam rentang waktu yang sudah
mencapai 121 tahun mendidik generasi muda, dayah itu sudah dikenal luas
dan telah ada belasan dayah lain yang merupakan cabang dari dayah
tersebut.
Dayah yang berada di kompleks Masjid Blang Bladeh itu,
memiliki beberapa bangunan bertingkat selain tempat penginapan santri
dan balai pengajian. Bahkan, dayah itu dibangun pada dua lokasi
terpisah, yaitu satu untuk putra yang disebut Al Madiinatuddiniyah
Babussalam Putra yang ada di Desa Kuala Jeumpa, dan satu lagi Babussalam
Putri yang berada di Blang Bladeh. Sebagai orang yang dianggap sebagai
tokoh ulama Aceh dan Bireuen, Abu Tumin selain memimpin dayah itu secara
terjadwal dirumah beliau untuk guru-guru yang mengajar mulai dari hari
Senin-Kamis, beliau juga memimpin pengajian di rumahnya selepas shalat
jum’at untuk kaum ibu-ibu yang berdatangan sesak penuh kerumah beliau
dan setiap bulan diundang untuk memimpin pengajian akbar yang diikuti
oleh Ulama dan Umara di Kampung Beusa Seubrang, Peureulak, Aceh Timur
dan ditempat-tempat lain.
Pada akhir/awal nama dayah-dayah di
Aceh, ada tiga sebutan populer yang disandingkan bergandengan namanya
yaitu Madinatuddiniyah adalah bagian dari Al Madinatuddiniyah Babussalam
Bireuen, Darusaa’adah adalah cabang dari Darussaa’adah Teupin Raya
(Pidie), dan Al-Aziziyah adalah cabang dayah Mudi Mesra Samalanga
Bireuen. “Tiga sebutan itu masing-masing memiliki ciri khas tersendiri,”
ujar Abu Tumin.
Kita doakan beliau agar selalu sehat, sanggup
membina dan mendidik umat ke jalan kebenaran yang ber'tiqad Ahlussunnah
Waljama'ah. Aamiin..