BREAKING

Senin, 13 Oktober 2014

Biografi Ulama di Bireuen

 
1.  Tgk. H Nuruzzahri Yahya



Tgk. H Nuruzzahri Yahya, akrab disapa Waled Nu, lahir di desa Mideun Jok, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen pada 1951. Dia anak sulung Tgk.H Yahya dari istri pertamanya, Sa'diah. Dari ibu Sa'diah yang meninggal dunia pada 1959 Waled Nu memiliki dua orang saudara; Tgk.Fakhrurrazi Yahya dan Syeh Asnawi Yahya (Alm). Dari ibu kedua, Hj Nurjannah, Waled memiliki dua orang adik, yaitu Tgk. Syeh Baihaqi dan Hj. Marhamah (Walidah Tanoh Mirah, istri Tgk.H.Anwar Nurdin). Ketika ia berumur delapan tahun, ibu kandung meninggal dan tinggallah Nuruzzahri kecil dengan adik-adiknya bersama ayah.

Ayah Tgk.H.Nuruzzahri, Tgk. H.Yahya, adalah seorang tokoh masyarat, tokoh agama, juga seorang guru besar yang merangkap panitia pembangunan dayah Ma'hadal Ulum Diniyyah Islamiyah Mesjid Raya, (MUDI MESRA), di era kepemimpinan Tgk.H. Abdul Aziz (Abo Aziz Samalanga). Selain sebagai tokoh agama, beliau juga seorang pembisnis hasil bumi yang tergolong sukses.

Tgk.H.Yahya berasal dari desa Monkeulayu, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen. Pada 1937 ia berangkat ke Samalanga untuk menyantri ( meudagang ) di Dayah MUDI MESRA yang dipimpin oleh Tgk. Abi (Tgk.H.Hanafiah). Setelah 14 tahun di sana ia menikah dengan Sa'diah, seorang gadis desa Mideun Jok, desa tempat Dayah MUDI berada. Tgk.H.Yahya adalah sosok berdarah Arab Yaman Selatan. Dilihat dari postur tubuh, ia mirip orang Timur Tengah dan sering disapa dengan panggilan "Tgk.Arab". Begitu juga dengan anak-anaknya seperti Waled Nu.

Dalam mendidik anak-anaknya, Tgk.H.Yahya sangat disiplin dan memahami bakat dan kemampuan mereka. Anak-anak beliau diberi kebebasan memilih jalan hidup asalkan mareka sudah matang menguasai ilmu agama dengan cara belajar di dayah. Dia sangat menekankan pentingnya kewiraswastaan ​​agar terkikis mental-mental manja dari seorang anak. Apapun sikap dan tindakan yang bermanfaat bagi mereka, akan diberi dukungan, baik dukungan moril maupun materil. Sebagai contoh, ketika Waled Nu pada masa muda memilih turun ke sawah untuk menjadi petani layaknya masyarakat lain sebagai sikap mandiri dalam soal ekonomi, sang ayah memberi dukungan dan dorongan dan bahkan memodalinya. Mungkin ada sebagian masyarakat yang memandang ironis karena Waled adalah anak seorang pedagang sukses. Mereka heran mengapa ia memilih memanggul cangkul ke sawah.

Pola pendidikan seperti itu telah mengantar anak-anak Tgk.H.Yahya ke jenjang kesuksesan, seperti Tgk. H. Nuruzzahri yang kemudian menjadi seorang tokoh ulama Aceh dan akhirnya disebut Waled Nu. Tgk.Fakhrurrazi menjadi pedagang hasil bumi. Syekh Asnawi menjadi guru SMA di Sigli dan meninggal sebagai korban DOM 1991. Syekh Baihaqi menjadi ketua umum Dayah Malikussaleh Panton Labu. Putri bungsu beliau, Hj.Marhamah berkiprah sebagai pimpinan pesantren putri Miftahul Ulum, Tanoh Mirah (Walidah Tanoh Mirah).

2. Syaikh Hasanoel Bashry. HG

ABU MUDI adalah seorang ulama dayah salafiyah Aceh yang bernama lengkap Tgk. H. Hasanoel Bashry. Bin H. Gadeng. Popularisasi nama julukan Abu Mudi ini menunjukkan kadar popularitas dan gambaran peran sang tokoh agama di tengah masyarakatnya. Julukan Abu Mudi bagi Tgk. H. Hasanoel Bashry. HG, itu diperoleh karena peran dan jasanya sebagai pendidik, penegak dan pembangun lembaga pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah, juga sebagai penghargaan atas jasa dan perannya sebagai pemimpin dan pemegang posisi sentral pada lembaga tersebut pasca wafat bapak mertuanya, yaitu Tgk H. Abdul ‘Aziz atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abon.
Syaikh Hasanoel Bashry. HG, lahir pada tanggal 26 Sya`ban 1368 H bertepatan dengan tanggal 21 Juni 1949 M, di desa Uteun Geulinggang kec. Krueng Geukueh. Beliau adalah yang tertua dari dua bersaudara, putera pasangan Tgk. H. Gadeng dan Ummi Manawiyah yang berasal dari keluarga berlatarbelakang agama yang kuat.
Disiplin yang ditanamkan oleh orangtuanya telah membentuk karakter Abu MUDI menjadi sosok yang sangat menghargai waktu dan mencintai ilmu Allah melebihi segalanya. Beliau tampil sebagai pribadi yang tekun belajar dan tidak bosan melakukan kajian.
Tahap-tahap pembelajaran sistem klasikal dayah (pesantren) tradisional yang berbentuk halaqah dilalui dengan penuh semangat sampai selesai pada tahun 1972 (tujuh tahun).

Di sini beliau memperoleh bimbingan dari guru-guru beliauKecintaan kepada ilmu agama membuat beliau betah untuk terus bergelut dengan tradisi keilmuan dayah, segera setelah menamatkan jadwal pembelajaran kurikulum wajib, beliau mendaftar di tahap pembelajaran lanjutan. Di tahun yang sama beliau masuk di kelas Bustanul Muhaqqiqin sampai selesai pada tahun 1975. Dalam pembelajaran di tingkat Bustanul Muhaqqiqin, beliau mendapat gemblengan khusus dari Abon (Tgk. H. Abdul Aziz Shaleh sebagai pimpinan pesantren). 
Di masa ini pula beliau diserahi tugas-tugas administrasi kedayahan yang dalam konteks sekarang diistilahkan sebagai “magang”. Dalam masa itu beliau sempat mengemban tugas sebagai sekretaaris umum pesantren MUDI (1972-19750). Sukses memenuhi tanggung jawab, lalu beliau diangkat sebagai ketua umum pesantren MUDI pada tahun 1975, dan terus dijabatnya. Pada 1978, dalam usia 29 tahun, beliau menikah dengan putri sulung Abon Aziz, Shalihah.
Pengabdian tulus beliau dalam dunia kedayahan terus mendapat peningkatan bobot tanggung jawab. Puncaknya adalah pada tahun 1988, saat Abon Aziz meninggal dunia sehingga praktis tugas kepemimpinan pesantren harus diisi olehnya. Dan akhirnya beliau ditetapkan pula menjadi pimpinan pesantren MUDI Mesjid Raya sampai sekarang.
Kiprah Abu MUDI dalam Sosial Kemasyarakatan
Tanpa mengesampingkan perhatian Syaikh Hasanoel Bashry. HG, pada sektor pengajaran, ternyata konsentrasi pada bidang organisasi kemasyarakatan juga menjadi prioritas utama. Diantaranya, Ketua Tarbiyah Islamiyah Kec. Samalanga, Penasehat Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Ketua Syuriyah Nahdhatul Ulama (NU) Kab. Bireuen, dan wakil ketua Syuriyah Nahdhatul Ulama (NU) wilayah Nanggroe Aceh Darussalam, Dewan Majelis Syuyukh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Nanggro Aceh Darussalam sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang, Wakil Ketua Majelis Pendidikan Daerah Kabupaten Bireuen sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang, Ketua Ikatan Persaudaraan Haji (IPHI) Samalanga, sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang.
Dalam sosial kemasyarakatan, Abu MUDI dalam berinteraksi dengan masyarakat tidak hanya dilakukannya melalui halaqah ilmiah, tetapi beliau juga mengoptimalkan seluruh media yang bisa dimanfaatkan untuk berinteraksi dalam hal pengembangan pendidikan Islam. Hingga saat ini, Abu MUDI melayani masyarakat dalam menjawab beragam kasus hukum melalui Short-Message-Service (SMS), Blacberry Messangger (BBM), dan Fanspage Facebook.
Kiprah Abu MUDI dalam Karya Tulis
Tidak hanya itu, Syaikh Hasanoel Bahsry. HG, juga konsen pada bidang penulisan yang tersebar dalam beberapa disiplin ilmu dengan ciri khas merata yaitu argumentatif. Beliau tertarik untuk terjun ke dunia penulisan setelah membaca dan mengkaji secara serius sebuah buku yang kontroversial yaitu buku ”Al-Manazil” buah pena Al-Anshari (w. 481/1089). Buku tersebut kemudian diberi komentar dan ditulis dengan judul Manazil Al-Sa’irin.
Alasan kedua beliau tertarik untuk menulis, setelah melihat fenomena kehidupan masyarakat muslim hari ini khususnya di Aceh, minim sekali yang berminat untuk mempelajari hukum atau ilmu agama lainnya dengan menggunakan kitab Arab klasik sebagai panduan. Mereka lebih senang membaca buku- buku yang kadang- kadang sangat kontroversial dengan ajaran agama yang sebenarnya.
Sejak saat itulah Syaikh Hasanoel Bashry. HG. mulai berkarya dan menterjamahkan kitab- kitab Arab klasik ke dalam bahasa Indonesia yang benar, dan mudah dipahami oleh pembaca. Dan karya lainnya dalam bentuk makalah, seperti. Peran Ulama Dalam Perdamaian Aceh (Peran Ulama Dayah Dalam Konteks Pendekatan Berbasis Agama Dan Pendidikan). Makalah yang disampaikan pada Workshop Pondok Pesantren Dan Peace Building Bogor 23-25 Maret 2006.
Hasil karya lainnya dari Abu MUDI adalah Buku yang bertajuk Pemikiran Ulama Dayah Aceh yang diterbitkan oleh BRR-NAD pada tahun 2006, Abu MUDI juga menulis tentang Korupsi dalam Perspektif Islam, dan hingga saat ini semua karya tulis beliau ada yang telah dibukukan dan ada pula masih dalam bentuk paper ilmiah yang disampaikannya dalam setiap pertemuan ilmiah dalam berbagai acara, seperti seminar, workshop hingga sidang ifta MPU Aceh. Dan juga kadangkala tulisan Abu MUDI dipublikasikan di berbagai media online seperti di website www.suaraaceh.com, www.lbm-mudi.com dan www.al-aziziyah.com
Disamping buku-buku hasil karya Syaikh Hasanoel Bashry. HG yang menghiasi khazanah pustaka, beliau juga memiliki murid dan kader yang handal. Di antara muridnya yang mampu mewarisi semangat keilmuan dan bahkan di antara mereka ada yang berhasil mendirikan Lembaga Pendidikan di daerahnya masing- masing sebagai wujud dari perpanjangantangan dalam menyebarkan syari’at.
Kiprah Abu MUDI Dalam Pendidikan Islam di Aceh
Sebagai salah satu tokoh pendidik di Aceh, kesuksesan Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan STAI Al-Aziziyah Samalanga menjadi bukti nyata tentang kiprah yang diperankannya dalam pengembangan pendidikan di Aceh.

Dari gaya kepemimpinan beliau, Abu MUDI di Dayah MUDI Mesjid Raya telah berkontribusi dalam pengembangan pendidikan agama Islam di Aceh seperti upaya pencapaian tujuan, berfungsinya sistem di dayah tersebut, dan tingkat kepuasan individu yang berpartisipasi, salah satu factor yang melatarbelakangi kesuksesan Abu MUDI dalam menyukseskan pendidikan di Dayah MUDI Mesjid Raya adalah factor kepemimpinannya, di mana hal ini dapat dilihat dari segi perubahan yang terjadi pada pesantren dalam masa kepemimpinan Abu. 
Pada masa kepemimpinan Abu MUDI banyak sekali dilakukan perubahan-perubahan. Pola pikir beliau yang dinamis membawa angin segar perubahan yang meniscayakan pembenahan dan pembaharuan dalam beberapa sisi kedayahan diantaranya pembinaan manajerial pengelolaan Dayah MUDI Mesjid Raya, pengembangan pendidikan dan akses perhubungan masyarakat.
Dalam pengembangan pendidikan, kendatipun pesantren merupakan kenyataan sosial yang sudah mapan dalam masyarakat Indonesia, namun tidak memperoleh perhatian dan intervensi yang signifikan dari pemerintah untuk mengembangkan ataupun memperdayakannya. Hal ini menjadikan pesantren tumbuh dengan kemampuan sendiri yang pada akhirnya menumbuhkan varian yang sangat besar, karena sangat tergantung pada kemampuan masyarakat itu sendiri. Kadang kesan yang muncul adalah bahwa pesantren adalah merupakan lembaga yang eklusif dan kurang mengakomodasi perkembangan zaman.
Pesantren bukan berarti tidak mempunyai kelemahan dan kekurangan, untuk itu perlu adanya perbaikan dengan cara melakukan rekontruksi terhadap sistem pendidikan yang ada. Rekontruksi sitem pendidikan pesantren buka berarti merombak seluruh sistem yang ada yang berakibat hilangnya jaiti diri pesantren. Rekonstruksi sistem pendidikan tidak harus merubah orientasi atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddiin dalam pengertian luas.
Menyadari hal tersebut Abu juga melakukan rekonstruksi di pesantren MUDI Mesjid Raya di beberapa sektor, yaitu: Kurikulum, Pengenalan Komputer, Mabna Lughah (lembaga bahasa Arab & Inggris), Pembukaan STAI Al-Aziziyah, TK, SMP Islam Dayah Jamiah Al-Aziziyah, SMK Islam Jamiah Al Aziziyah serta berbagai gebrakan perubahan yang dilakukannya untuk mewujudkan pendidikan dayah memiliki daya saing dengan berbagai lembagai pendidikan formal di Aceh maupun luar Aceh.
Hal lain yang dilakukan Abu MUDI dalam menjalankan pengembangan pendidikan Agama Islam di Aceh adalah dengan membuka akses hubung masyarakat, di antaranya dengan memdirikan lembaga Pengajian TASTAFI (Tasawuf, Tauhid dan Fiqh) di mana Abu MUDI dengan lembaga tersebut mengajarkan masyarakat luar dayah MUDI untuk pemahaman ilmu tauhid, tasauf dan fiqh. Hingga saat ini pengajian TASTAFI sudah berjalan di mesjid Al-Bakri Samalanga, Darul Jamil Beureunuen, Mesjid Lhoksukon, Mesjid Agung Bireuen, Mesjid Kembang Tanjong, Mesjid Bujang Salem krueng Gekueh, Rumkin dari Fauziah Bireuen, Yayasan Sirajul Mudhi Jakarta, Mesjid Grong-Grong Pidie, Mesjid Taqarrub Darussalam Medan dan juga mengisi kajian Islam di Kuala Lumpur dan Johor Baru Malaysia.
Termasuk juga dalam kiprah Abu MUDI dalam mengembangkan pendidikan Islam di Aceh adalah melalui pembinaan rabithah alumni LPI MUDI Mesjid Raya secara intens, Abu melakukan pembinaan alumni-alumninya sehingga hubungan antara dayah Induk dengan Dayah Alumni-Alumninya terjalin secara efektif baik daripada visi dan misinya. Lembaga MUDI hingga saat ini telah banyak menghasilkan alumni yang sebahagian dari mereka ada yang melanjutkan studinya baik dalam maupun luar negeri, dan ada pula yang sudah bekerja di instansi pemerintahan, wiraswasta serta ada pula yang berkarya mendirikan pesantren di daerah mereka masing-masing. 
Dayah cabang binaan Alumni saat ini telah mencapai 423 pesantren dan balai pengajian yang tersebar di daerah Aceh dan di luar Aceh. Dengan demikian berarti pesantren tersebut telah menciptakan para lulusan yang bermanfaat bagi pemerintah dan bagi masyarakat dalam membangun manusia seutuhnya.
Selanjutnya, Abu MUDI juga telah merintis kerja sama antar negara, di mana hingga sekarang ini Dayah MUDI telah menjalin kerjasama dengan Universitas Sultan Sharif (Unissa) Brunei Darussalam, Mufti Penasehat Kerajaan Brunei Darussalam dan Universitas Islam Antarbangsa Malaysia. 
Penandatangan nota kerjasama dengan pihak Mufti Penasehat Kejaraan Brunei Darussalam pada tanggal bertujuan untuk menerjemahkan manuskrip 600 kitab yang ditulis para ulama di Asia Tenggara, termasuk ulama Aceh ke dalam bahasa Melayu dan MUDI menyediakan orang yang memiliki kemampuan menerjemahkan manuskrip tersebut. Sedangkan dengan pihak UNNISA, Abu menjalin kerjasama yaitu di bidang pertukaran pengajar, mahasiswa, dan pengembangan paskasarjana,karena mengingat Mudi juga memiliki STAI Al Aziziyah dan para mahasiswa dan pengajar STAI Al Aziziyah bisa belajar di Unissa salah satu kampus negeri di Brunei.
Dengan demikian, perubahan-perubahan yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa Abu MUDI telah membawa perubahan besar dalam lingkungan dayah khusunya dan dalam pengembangan pendidikan Islam di Aceh pada umumnya. Saat kebanyakan dayah masih anti dengan istilah manajemen modern, Abu MUDI justru telah menerapkannya di kampus MUDI Mesjid Raya Samalanga. Dan demi tercapainya visi lahirnya ulama yang berwawasan luas Abu MUDI menerapkan pendidikan umum di kampus MUDI Mesjid Raya, demi berjalannya proses pendidikan Islam, Abu tidak hanya bekerjasama dalam tingkat nasional, bahkan Abu MUDI menjalin kerja sama tingkat Internasional. 
 
3.  Abu Tumin
 
 
Abu H.Muhammad Amin Blang Bladeh yang akrab dengan panggilan Tumin. beliau salah satu murid Abuya Syeikh Muda Waly Al Khalidy (ulama paling berpengaruh dalam melahirkan Ulama di Aceh) dan beliau satu-satunya murid Abuya Syeikh Muda Waly yang masih tersisa di Aceh dan beliau tercatat sebagai Ulama Aceh yang paling senior dan paling tua yang masih tersisa berusia lebih kurang sekitar 85 tahun. Beliau juga merupakan murid Abu Hasan Krueng Kale (Syaikh Muhammad Hasan al-Aasyie al-Falaki) yang ikut aktif berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sehubungan dengan sapaan ini (Tumin) beliau sendiri benar berkelakar, kira-kira begini ucapan beliau, “Ka dumno tuha, hana dihei Tgk (saya sudah tua begini gak dipanggil Tgk)..”. Spontan saja kami yang berada dihadapan beliau tak sanggup menahan tawa yang membuat riuh ruang rumah Beliau.

Dalam berbicara beliau memiliki ciri khas, gaya bicaranya halus tidak blak-blakan dan bijaksana. Walaupun usia sudah sangat tua, tapi waktu beliau berdiri dan berjalan tubuh beliau masih tegak tidak membungkuk, dan tidak perlu memakai tongkat dan semangatnya seakan masih muda.
Beliau merupakan pemimpinnya Ulama Aceh dan ini terbukti ketika ada forum-forum pertemuan Ulama beliau begitu sangat menonjol dan beliau merupakan ulama yang ahli dibidang ilmu Fiqh, khususnya madzhab Syafi’i. Dalam banyak masalah beliau sangat gigih mempertahankan pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i ketika terjadi kontroversi antar sesama Ulama Aceh .
Selain ahli dibidang fiqh, beliau juga seorang yang sangat mahir dibidang tauhid, sangat menguasai kitab Syarah Al-Hikam karangan Syaikh ‘Ataillah As-Sakandari, mudah dicerna ketika beliau menerangkan tentang kalam-kalam hikmah yang terkandung dalam kitab tersebut. Beliau juga seorang Ulama ahli Thariqat Al-Haddadiyah.

Beliau merupakan pimpinan dayah (pesantren) Al Madiinatuddiniyah Babussalam, Blangbladeh, Kec.Jeumpa, Kab.Bireuen yang merupakan induk dari beberapa dayah salafiah di Aceh yang sudah mendidik santri sejak zaman Belanda. Awalnya, dayah tersebut didirikan Tgk H Imam Hanafiah pada tahun 1890. Setelah Tgk Imam Hanafiah meninggal, estafet kepemimpinan dayah itu dilanjutkan anaknya Tgk Mahmudsyah.

Sejak Tgk Mahmudyah meninggal hingga sekarang dayah itu dipimpin anaknya yaitu Tgk Muhammad Amin atau yang lebih dikenal dengan Abu Tumin. Abu Tumin adalah cucu Tgk Imam Hanafiah. “Dayah ini adalah dayah salafiah yang terus berupaya melahirkan kader-kader ulama dan berjuang keras agar syariat Islam tidak hanya sebatas wacana,” ujar Abu Tumin menjawab wartawanSerambi Indonesia.

Dayah yang berciri khas pengajian ilmu fiqih, tauhid, dan tafsir dalam rentang waktu yang sudah mencapai 121 tahun mendidik generasi muda, dayah itu sudah dikenal luas dan telah ada belasan dayah lain yang merupakan cabang dari dayah tersebut.
Dayah yang berada di kompleks Masjid Blang Bladeh itu, memiliki beberapa bangunan bertingkat selain tempat penginapan santri dan balai pengajian. Bahkan, dayah itu dibangun pada dua lokasi terpisah, yaitu satu untuk putra yang disebut Al Madiinatuddiniyah Babussalam Putra yang ada di Desa Kuala Jeumpa, dan satu lagi Babussalam Putri yang berada di Blang Bladeh. Sebagai orang yang dianggap sebagai tokoh ulama Aceh dan Bireuen, Abu Tumin selain memimpin dayah itu secara terjadwal dirumah beliau untuk guru-guru yang mengajar mulai dari hari Senin-Kamis, beliau juga memimpin pengajian di rumahnya selepas shalat jum’at untuk kaum ibu-ibu yang berdatangan sesak penuh kerumah beliau dan setiap bulan diundang untuk memimpin pengajian akbar yang diikuti oleh Ulama dan Umara di Kampung Beusa Seubrang, Peureulak, Aceh Timur dan ditempat-tempat lain.
Pada akhir/awal nama dayah-dayah di Aceh, ada tiga sebutan populer yang disandingkan bergandengan namanya yaitu Madinatuddiniyah adalah bagian dari Al Madinatuddiniyah Babussalam Bireuen, Darusaa’adah adalah cabang dari Darussaa’adah Teupin Raya (Pidie), dan Al-Aziziyah adalah cabang dayah Mudi Mesra Samalanga Bireuen. “Tiga sebutan itu masing-masing memiliki ciri khas tersendiri,” ujar Abu Tumin.

Kita doakan beliau agar selalu sehat, sanggup membina dan mendidik umat ke jalan kebenaran yang ber'tiqad Ahlussunnah Waljama'ah. Aamiin..
 

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

1 komentar:

 
Copyright © 2013 Bireuen sebagai kabupaten 1001 dayah
Design by FBTemplates | BTT