Angka 1001 (seribu satu) adalah
angka yang lebih identik dan populer dengan Negara Irak, konon dari sanalah
kisah 1001 malam terjadi. Dikisahkan Raja Syahriyar dari Persia marah besar
setelah menangkap basah istrinya tengah berselingkuh. Raja Syahriyar segera memancung
istrinya beserta selingkuhannya.
Sejak saat itu, Raja Syahriar memberi amar kepada
Wazir (seorang perdana menteri) untuk mencari gadis untuk dinikahinya secara
resmi kemudian esok sorenya dihukum pancung. Telah banyak wanita yang menjadi
korban Raja Syahriyar. Hingga akhirnya, putri Wazir yaitu Syahrazad, dengan
tanpa paksaan meminta untuk menikah dengan sang Raja Syahriyar. Saat malam
pertama, Syahrazad bercerita sebuah cerita kepada Raja Syahriyar. Namun ia
tidak menyelesaikan ceritanya saat malam itu. Raja Syahriyar penasaran dengan
cerita Syahrazad sehingga hukuman pancung pun ditunda agar bisa mendengar
kelanjutan kisah Syahrazad. Syahrazad dengan khazanah cerita yang dimiliki
setiap malam dapat mempersembahkan kepada Sang Raja satu cerita secara terus
menerus sampai dengan 1001 malam, hingga kemudian hukuman pancung kepadanya
dapat ditangguhkan bahkan kelak Syahrazad menjadi permaisuri Raja dan mengakhiri
ancaman pancung kepada gadis lain.
Santri Di Pondok Sedang Mengikuti Pengajian |
1) Sejarah
mencatat bahwa lembaga pendidikan tertua di Aceh adalah Dayah (Zawiyah dalam
Bahasa Arab), bahkan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) sebagai “jantong atee
rakyat Aceh”. Lembaga perguruan tinggi ini diberi nama Syiah Kuala untuk
mengenang seorang ulama cendekiawan muslim bernama Syekh Abdul Rauf yang
bermukim dan mengembangkan pendidikan dayah (pesantren) di muara Krueng Aceh
(Kuala Aceh) pada abad ke-17 M. Ulama cendekiawan tersebut lebih dikenal dengan
nama Teungku Syiah Kuala.
Jejak Dayah sebagai lembaga pendidikan dan lembaga
sosiasl di Aceh bisa kita telusuri kiprahnya sampai kepada masa kerajaan
Samudera Pasai. Di Bireuen salah satu dayah tertua dan terbesar adalah MUDI
MESRA (Madrasah Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya) Samalanga sebagai institusi
pendidikan yang mengambil peran paling sakral dalam mencetak generasi ummat dan
kader dayah yang memiliki kompetensi mumpuni di bidangnya, telah banyak
alumninya yang mendirikan dayah, jadi ustaz, politikus, akademisi dan lainnya.
2)
Dayah di Kabupaten Bireuen adalah penyumbang pendapatan ekonomi yang
menjanjikan. Mari kita buat kalkulasi matematis, jika ada 100 dayah di Bireuen
memiliki santri rata-rata 150 orang berarti 100 dayah x 150 orang = 15.000
orang. Dengan asumsi seorang santri belanjanya perbulan Rp. 300.000 maka in come pendapatan dari keberadaan dayah
di Bireuen adalah 15.000 x 300.000 = Rp. 4,500,000,000 (empat milyar lima ratus
juta rupiah) perbulan merupakan angka pemasukan ekonomi yang fantastis dan
menjadi sektor penopang ekonomi yang penting bagi Kabupaten Bireuen. 3)
Keberadaan Dayah di Bireuen adalah identitas khas Kota Juang karena selain itu
kita nyaris tidak unggul di bidang lain dari Kabupaten lain di Aceh, dengan
memperjuangkan Bireuen Kabupaten 1001 dayah merupakan bentuk sinergitas
mewujudkan Bireuen Kota Santri.
4) Kekuatan didik ala Dayah adalah pendidikan
yang memiliki sinergitas antara duniawi dan ukhrawi, menyatukan pendidikan
afektif, kognitif dan psikomotor sehingga mencapai taraf insan Khalifatullah
sebagaimana tujuan pendidikan Islam.
5) Dayah salafy dapat melahirkan
orang-orang alim keramat, ini suatu kelebihan yang diberikan Allah. Orang alim
keramat di Aceh hanya dapat lahir dari pendidikan Dayah, selain itu rasanya
tidak ada lembaga pendidikan yang mampu melakukannya, jejak sejarahnyapun tidak
ada.
Namun alumni dayah bisa kita sebutkan beberapa orang yang mencapai keramah
yaitu Syaikh Mudawali, Tgk. Ibrahim Woyla, Tgk. Chiek Awee Geutah, mereka semua
Allahu Yarham adalah orang-orang pilihan dengan kelebihan masing-masing.
Sekarangpun masih ada yang masih hidup salah satunya Abu Kuta Krueng dengan
salah satu kelebihannya merajah air untuk berbagai penyakit adalah saksi hidup
karamah yang Tuhan berikan itu ada bukan hanya legenda.
6) Orang dayah (santri)
terkenal Akhlak mulianya, mari kita lihat perkembangan penddidikan dunia yang
terus terjadi degradasi moral, Indonesiapun seakan tak habis-habisnya dalam
melakukan perubahan dan inovasi kurikulum untuk menjawab tantangan tersebut di
pendidikan formal. Namun Dayah dengan sistem pendidikan Salafinya masih aman
dari penyakit moral tersebut, secara kasat mata kita bisa melihat bahwa di
dayah santriwan (laki-laki) terpisah dengan santriwati (perempuan), budaya
takzim kepada guru dengan penuh khidmat, bukan pemandangan langka saat santri
mau belajar di balai terlebih dahulu menjabat tangan guru dan menciumnya begitu
juga saat pengajian selesai aktifitas itu kembali dilakukan. Dayah sangat
efektif dalam mencapai masayarakat adil makmur dan berbudaya (berkahlak mulia),
dalam konteks Bireuen kita bisa melacak sejarah, salah satunya dari penuturan
murid-murid Tgk. Teunom (Pendiri Dayah Darul Istiqamah Geulanggang Teungoh) beliau
aktif dalam merangkul beberapa preman Bireuen dengan pendekatannya mengajarkan
silet dan karate akhirnya mereka insaf dan mengaji di Dayah dengan demikian angka
hasilnya kriminalitas di Bireuen menurun.
7) Pendidikan Dayah menghidupkan, ini
yang perlu digaris bawahi, karena pendidikan dalam arti yang paling dasar
adalah menghidupkan, menumbuhkan, mengembangkan diwakili dalam kata Tarbiyah
versi Islam, selain yang mengandung tiga hal tersebut bisa dipastikan bukan
pendidikan. Bagaimana bisa kita membayangkan seorang ayah yang bekerja siang
malam, jual tanah kadang-kadang untuk membiayai anaknya kuliah di universitas
ternama untuk menempuh pendidikan, pendidikan seperti itu adalah pendidikan
yang akan mematikan, jikapun lulus nantinya banyak diantara mereka menjadi
pesakitan di pengadilan Tipikor setelah ditangkap KPK, ini adalah fakta produk
pendidikan di Indonesia terbukti dari banyaknya koruptor bergelar Sarjana (S
1), Master of Art (MA), Doktor (Dr) dan Profesor (Prof) yang notabenanya
lulusan pendidikan tinggi namun bejat moral hingga menjadi koruptor. Berbeda
dengan pendidikan Dayah yang murah, penuh dengan negosiasi dan kadang-kadang
masih ada dayah salafy di Aceh khususnya di Bireuen yang menggratiskan biaya
pendidikan dengan tujuan menghidupkan anak manusia, mengembangkan bakatnya dan
menumbuhkan semangatnya untuk menjadi hamba Allah bukan hamba harta. Berapa
banyak lulusan dayah yang telah menjadi ulama, politikus, tokoh masyararakat
dengan menempuh pendidikan Dayah, dan pastinya mereka itu mendapatkan
pendidikan yang murah meriah dengan kualitas nomor wahid. Dan merekapun menjadi
teladan umat dalam bergama, berbangsa dan bernegara.
8) Ulama karismatik di Aceh
khususnya di Bireuen hanya berasal dari Dayah, karena lembaga pendidikan lain
tidak mampu mengorbit mereka. Ini merupakan fakta bahwa ke dayahlah referensi
beragama masyarakat dari dulu sampai sekarang, hanya kepada ulama lulusan
dayah, masayarakat Aceh khususnya di Bireuen akan merujuk jika sesuatu perihal
keagamaan perlu dipertanyakan, disamping itu mereka senantiasa mengikuti
pengajian yang diselenggarakan di dayah. Belum ada yang bisa menggantikan Dayah
dan orang-orang dayah dalam hal ini.
9) Islam yang diajarkan di Dayah adalah
Islam yang universal rahmatan lil alamin, mari kita menelisik bagaimana ulama
tempo dulu dalam menyebarkan Islam penuh dengan kearifan, memasukkan
nilai-nilai Islam dalam beberapa tradisi yang telah ada sebagai wujud
menghormati pribumi dan budayanya. Sebagai cotoh acara Peusijuk yang telah
lebih dulu eksis dari kedatangan Islam, acara Peusijuk sebagai sebuah tradisi
tetap dilanjutkan namun dimasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya sebagaimana
kita saksikan sampai sekarang.
Dalam hal berpakaian kita juga tidak diharuskan
menggunakan baju gamis ala Arab karena itu merupakan budaya bukan bagian ajaran
inti agama Islam. Itulah sembilan alasan yang yang dapat dijadikan masukan
untuk mewujudkan Bireuen Kabupaten 1001 Dayah bukan hanya wacana
Posting Komentar